Sejarah Tumbilotohe, Tradisi Masyarakat Gorontalo Dari Waktu ke Waktu

Bagikan Berita

NARASI21.ID (BOALEMO) – Malam pasang lampu atau lebih dikenal dengan istilah ‘Tumbilotohe’ oleh masyarakat Gorontalo merupakan suatu tradisi dan juga sebagai pertanda berakhirnya bulan suci Ramadhan.

Tradisi yang diperkirakan ada sejak abad ke 15-16 ini mengalami perubahan dari masa ke masa. Konon waktu itu, lampu penerangan yang digunakan masyarakat masih terbuat dari wamuta (kulit yang membalut mayang kelapa).

Penerangan menggunakan wamuta mulai digantikan dengan tohetutu atau damar yang terbuat dari getah pohon meranti-merantian. Setelah damar mulai sulit ditemukan barulah masyarakat berpindah ke minyak kelapa yang menggunakan sumbu dari kapas dengan menggunakan kima (jenis kerang laut), buah pepaya, dan gelas sebagai wadah.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat melaksanakan tradisi Tumbilotohe  mulai menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar penerangan dengan menggunakan botol bekas yang ditata secara rapih dipekarangan rumah, lapangan, persawahan, maupun kerangka kayu yang dihiasi janur kuning (Alikusu) dengan berbagai kreativitas masyarakat. Saat itu, tradisi ini mulai dilombakan Pemerintah Provinsi Gorontalo. Berbagai ivent pun digelar untuk memeriahkan pelaksanaan ‘Festival Tumbilotohe’ kala itu.

Saat tradisi Tumbilotohe berlangsung, berjuta cahaya lampu menerangi setiap sudut kota yang dijuluki Serambi Madinah itu. Mulai dari pelosok hingga perkotaan dihiasi lampu botol berbahan minyak tanah.

Namun saat ini, perayaan malam pasang lampu oleh sebagian masyarakat telah diganti dengan lampu moderen (lampu listrik) dikarenakan kelangkaan dan mahalnya harga minyak tanah sebagai bahan utama untuk menyalakan lampu botol.

Tumbilotohe moderen di Desa Tutulo (Foto By: Isal Pakaya)

Meski demikian, masyarakat Gorontalo tetap meyakini Tumbilotohe sebagai tradisi budaya warisan leluhur yang syarat makna akan nilai-nilai agama islam.

REDAKSI – M. NANTO